Kopi pasta saus biru

Di Indonesia, isu SARA -- bukan Sex Anatomi Rai
-- selalu 'sexy' untuk diperdebatkan. Misalnya,
akhir-akhir ini masalah topi santa, bando tanduk
rusa kutub, dan ucapan "Selamat Natal." menjadi
tren. Alih-alih membuat kita paham, tema
tersebut malah membuat kita semakin bingung
dan -- tak jarang -- menimbulkan perpecahan di
antara masyarakat. Minimal, saling menampilkan
muka terlipat ketika bertemu. Toleransi di negeri
sering hanya menjadi tema dalam pelajaran di
sekolah. Padahal tema toleransi ini sudah diatur
dengan baik dalam ayat-ayat kitab suci, jauh
sebelum adanya ayat-ayat konstitusi di negeri ini.
Cukup cantik, bukan yang disampaikan dalam Al-
Quran dalam Surah Al-Kafirun ini:
aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah (QS. 109:2)
Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku
sembah (QS. 109:3)
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah (QS. 109:4)
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Ilah yang aku sembah (QS.
109:5)
Untukmulah agamamu, dan untukkulah
agamaku (QS. 109:6)
Pada masa kanak-kanak, saya tinggal di desa
yang sangat plural. Kami tinggal secara
berdampingan dengan pemeluk agama lain dan
anggota suku lain. Tidak ada masalah, keluarga
besar saya pun terdiri dari beberapa suku dan
agama. Tetangga depan rumah saya pada waktu
itu adalah seorang pemuka agama Kristen.
Hampir setiap malam, kami berbincang di depan
rumah. Maklum, pada waktu itu belum banyak
yang memiliki TV. Berbincang dengan tetangga
seperti sebuah hiburan bagi kami. Bagi kami yang
tinggal di desa, tetangga sudah seperti saudara.
Bahkan saya sering tidur di rumah beliau.
Biasanya, saya dipanggil untuk diajak makan
karena keluarganya hobi sekali memasak. Setelah
makan, masih dilanjutkan dengan bermain
bersama anak keduanya dan akhirnya tidur di
sana. Meskipun hubungan kami sangat erat,
beliau tidak pernah mengucapkan selamat ketika
'Iedul Fitri atau Adha. Begitu pula kami, tidak
pernah mengucapkan selamat ketika Hari Raya
Natal. Malah kami mendatangi beliau, ketika
'Iedul Fitri bukan pada perayaan Natal. Kebetulan
bapak dan ibu jauh lebih muda daripada Pak
Pendeta. Pada Hari Raya Natal, rumah beliau
selalu ramai karena perayaan dilakukan di sana
bukan di gereja yang halamannya sempit. Kami
tidak diundang dan kamipun juga tidak ada
inisiatif datang. Namun, hubungan dan
kebersamaan tetap terjaga dengan baik. Beliau
selalu yang pertama mengucapkan selamat ketika
saya memperoleh prestasi tertentu, baik di tingkat
sekolah maupun nasional. Dengan bangganya, hal
itu diceritakan kepada kolega-koleganya di Kantor
Depdikbud. Di lain pihak, bapak juga selalu
membantu ketika Pak Pendeta itu memperbaiki
rumah, mempersiapkan resepsi pernikahan
anaknya, dsb. Bagi keluarga kami beliau juga
sangat berjasa karena telah menyemangati ibu
untuk memperdalam keterampilan menjahit,
sehingga bisa menunjang ekonomi keluarga. Saya
masih ingat, beliau merelakan kain baju dinasnya
untuk dijahit oleh ibu. Hasilnya di luar dugaan,
kacau! Namun, beliau memuji dan memakainya
untuk berdinas di Kantor Depdikbud. Sejak saat
itu, ibu termotivasi untuk lebih menguasai
keterampilan menjahit. Beliau sudah tiada, tetapi
kami masih mengingatnya.
Sekarang tetangga bapak dan ibu adalah seorang
guru agama Katholik dan pemeluk agama Hindu.
Sama dengan dengan Pak Pendeta tadi, tidak
pernah sekalipun kami saling mengucapkan
selamat hari raya. Apakah hubungan kami buruk?
Justru sebaliknya! Sebelum mempunyai sepeda
motor sendiri, bapak selalu memakai sepeda
motor Pak Guru Agama Katholik itu kemanapun
dibutukan karena memang beliau memiliki
sejumlah motor yang tidak terpakai. Kadang-
kadang saya juga meminjamnya untuk
mengunjungi sanak saudara di desa sebelah.
Beliau juga sering membantu kami, ketika kami
kesulitan. Sebaliknya, bapak juga membantu
ketika beliau mengalami kesulitan. Bahkan ibu
sering memasak untuk beliau karena tinggal
sendirian di rumah. Isterinya telah meninggal,
anak-anaknya di luar kota semua. Sama halnya
dengan tetangga yang beragama Hindu, mereka
sering membantu keluarga kami dalam berbagai
urusan. Para tetangga tersebut sudah seperti
saudara yang selalu ada kapanpun kami
menghadapi kesulitan.
Kebetulan kerabat bapak banyak yang beragama
Kristen. Kami juga tidak pernah menghadapi
masalah karena hal itu. Kami tidak pernah saling
mengucapkan selamat pada perayaan hari raya
agama masing-masing. Kami saling berkunjung
ketika 'Iedul Fitri karena sudah menjadi semacam
tradisi, saling bermaafan tanpa mengucapkan
"Selamat merayakan 'Iedul Fitri.". Tidak
sekalipun. Kami menyadari bahwa saling
menghormati, menghargai, dan bertoleransi bukan
dengan mencampuradukkan urusan agama.
Bukankah aneh, ketika muslim atau muslimah
memakai topi santa atau bando tanduk rusa
untuk menyambut dan merayakan Natal.
Bayangkan kalau pada bulan Ramadhan, yang
nonmuslim memakai jilbab atau gamis plus sirwal
plus peci. Aneh, bukan? Urusan aqidah adalah
urusan masing-masing yang harus dijaga. Biarkan
muslim dengan aqidahnya dan biarkan nonmuslim
dengan keyakinannya. Mudah dan indah, bukan?
Dalam Islam tidak berlaku pluralisme. Namun,
Islam menghormati dan menjamin pluralitas.
Dalam hal ini, agama adalah pilihan tentang
kebenaran. Bagi muslim, hanya Islam yang benar.
Bagi nonmuslim, hanya agamanya yang benar.
Kaidah ini bukanlah justifikasi untuk menyalah-
nyalahkan agama lain, apalagi menghina agama
lain. Penghinaan terhadap agama lain hukumnya
haram, menurut Rasulullah saw. Hal ini patut
digarisbawahi. Sebaliknya, mengakui kebenaran
agama lain hukumnya juga haram. Menurut para
ulama, mengucapkan selamat atas hari raya
agama lain minimal dihukumi sebagai kufur qauli,
pengingkaran terhadap aqidah dalam bentuk kata-
kata. Kalau mengucapkan dengan membenarkan,
berarti telah jatuh ke dalam kufur i'tiqadi,
pengingkaran terhadap aqidah yang sejati. Bisa
jadi ada yang tidak sependapat dengan
pandangan saya ini. Saya tidak
mempermasalahkan dan tidak akan memaksakan
apa yang saya yakini kepada orang lain. Haram
kekerasan dalam hal ini, meskipun 'hanya' berupa
kekerasan verbal. Semoga kita diberkahi dengan
kedamaian, kasih sayang, dan saling
menghormati.

Sumber : [9:40pm, 12/25/2014] "Schatzy": https://m.facebook.com/notes/deddy-rizqa/toleransi-bukan-telor-asin/310724569126277/?_rdr#310826455782755
[9:45pm, 12/25/2014] "Schatzy": Pak deddy iku seng nulia

Sam Djo

No comments:

Post a Comment