Setelah sekian lama,
Hingga mata pena berkarat.
Saat hati terguncang oleh keadaan,
Saat pedang kalam terhunus menantang.
Mulai terlukis kembali sajak sayat dini hari.
Kemungkinan yang telah terengah-engah lelah menanti kepastian.
Terus terhunus menantang,
Pasir-pasir kotor berserakan di otak kiri,
Selalu pagi menghianati.
Oh, sakit terasa setiap langkah yang berulang dalam lorong hitam, mulai melintas di benak dalam, berselingan rasa dosa yang terbayang remang-remang. Ya! Itu memang benar yang terpikir hanya satu lorong itu. Karena setelah sekian lama berubah menjadi kebutuhan. Rindu bibir mengering terengah-engah mencapai puncak lorpng hitam, lalu tertidur di lorong hitam berselimut rumput hitam sedikit tajam menggores tipis tapi hangat menyapu.
Sirna rasa kelam menggebu.
Sirna rasa sakit terhianati.
Sirna rasa penuh kelabu.
Sirna rasa sakit hati ini.
Saat itu cinta pun mengerti tanpa terucap oleh bibir dengan kulit ari terkikis udara dingin merekah merah perih.
Saat itu cerita bersemi dalam, hingga kebohongan terkuak tanpa dipaksa.
Saat itu cinta berseri memerah indah, hangat, keemasan, dan kadang merah muda.
Saat itu cerita bersemi sedalam palung, hingga cerita masa depan mulai tertulis tegas, benar-benar tegas. Hingga terkecap berulang kali kata-kata suci.
Oh begitu rindu, bukan sajak pilu.
Sebenarnya sajak penuh warna, bukan hitam saja.
Ya! Aku butuh lorong hitam dengan berselimut rumput hitam menyayat tipis.
Ya! Hanya satu lorong hitam itu.
No comments:
Post a Comment